Sejarah Desa
<p style="text-align: justify;"><strong><span lang="DE" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:107%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">Desa </span></span></span><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:107%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">Dalung - </span></span></span></strong><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:107%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">Mengenai asal - usul nama "DALUNG" </span></span></span><span lang="DE" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:107%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">ada beberapa informasi menurut cerita dari Tokoh – tokoh masyarakat serta didukung oleh bukti – bukti peninggalan yang </span></span></span><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:107%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">menurut para pengelingsir dan tetua agama kata Dalung itu berasal dari dua kata yaitu kata “Eda” dan “Lung”. Eda yang berarti tidak boleh dan Lung yang berarti Patah. Yang apabila kata kata tersebut disatukan akan menjadi kata Edalung lama kelamaan menjadi kata Dalung yang berarti tidak akan Patah.</span></span></span></p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desadalung.badungkab.go.id/storage/desadalung/image/kantor_desa2__sid__XlWAhtn.jpg" weigth="100px" /><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:150%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif"><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span arial="" narrow="" style="font-family:">Dalung</span></span></span><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span arial="" narrow="" style="font-family:"> adalah sebuah Desa di wilayah Kecamatan <span style="font-style: normal;">Kuta Utara, Kabupaten Badung - Bali.</span></span></span></span><span lang="IN" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span arial="" narrow="" style="font-family:"> Awalnya wilayah yang menjadi Desa Dalung sekarang ini merupakan sebagian semak-semak dan tegalan, dan juga terdiri dari tanah persawahan yang subur. Sebelah timurnya adalah sebuah wilayah Desa yang disebut dengan "Padangluwah", sekarang dikenal dengan nama "Padangluwih". Jaraknya hanya dibatasi dengan sungai yang dikenal dengan nama Sungai Yeh Poh yang mengalir ke Laut selatan Bali.</span></span></span></span></span></span></p> <p style="text-align:justify; margin:0cm 0cm 8pt"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Sebenarnya cikal bakalnya berdirinya Desa Dalung sangat erat hubungannya dengan Desa Padangluwah yang merupakan kerajaan Meliling, karena awalnya diperintah oleh I Gusti Gede Meliling, yang merupakan putra ke empat dari Raja Ke III Mengwi yaitu I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng. Pada masa Pemerintahan I Gusti Gede Meliling yang berpusat di Padangluwah, digambarkan dengan situasi yang sangat stabil baik secara ekonomi maupun secara sosial politik. Tidak ada terdapat cacatan sejarah yang menyatakan terjadinya pergolakan pada masa tersebut. Tetapi keadaan menjadi lain ketika Dia wafat. Rupanya zaman berubah menjadi kaliyuga, putra-putra Meliling sudah saling berstrategi, dan terasa sudah tidak rukun dan bersatu kembali. Hal ini tidak terlepas dari adanya provokasi dari pihak kerajaan lain yang sangat berkepentingan terhadap wilayah tersebut, yang terkenal subur dan strategis. Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. </span></span></span></p> <p style="text-align:justify; margin:0cm 0cm 8pt"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluwah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluwah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji. Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra dia pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra dia tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluwah, agar dapat memantau perkembangan Padangluwah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). </span></span></span></p> <p style="text-align:justify; margin:0cm 0cm 8pt"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah “jangan patah” yang berarti "De Lung", kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825. Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. </span></span></span></p> <p style="text-align:justify; margin:0cm 0cm 8pt"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:107%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif">Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura. Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.</span></span></span></p>
25 May 2021